Jumat, 22 April 2016

TAAT KEPADA RASSULLAH SEBAGAI USWATUN KHASANAH





KETELADANAN Uswatun Hasanah
SURITAULADAN Rasulullah saw.


لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswatun hasanah (suri teladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
  [QS. Al-Ahzaab: 21]


Ayat yang agung di atas, di setiap bulan Rabi’ul Awwal, biasanya menjadi ayat yang paling sering terdengar dari corong-corong masjid. Tentu saja melalui mimbar-mimbar ceramah maulid. Para penceramah maulid juga tidak pernah lupa mengingatkan makna inti yang terkandung dalam ayat tersebut, bahwa kita sebagai ummat Muhammad wajib untuk menjadikan beliau sebagai panutan dan ikutan dalam mengamalkan agama. Belakangan, mencuat sebuah pertanyaan, sudahkah makna inti ayat tersebut terealisasi pada diri dan masyarakat muslim kita? Dan apakah kita telah memahami hakikat “uswatun hasanah” yang diinginkan oleh ayat tersebut?

Ulama tafsir mengaitkan turunnya ayat di atas secara khusus dengan peristiwa perang Khandaq yang sangat memberatkan kaum muslimin saat itu. Nabi dan para Sahabat benar-benar dalam keadaan susah dan lapar, sampai-sampai para Sahabat mengganjal perut dengan batu demi menahan perihnya rasa lapar. Mereka pun berkeluh kesah kepada Nabi. Adapun Nabi, benar-benar beliau adalah suri teladan dalam hal kesabaran ketika itu. Nabi bahkan mengganjal perutnya dengan dua buah batu, namun justru paling gigih dan sabar. Kesabaran Nabi dan perjuangan beliau tanpa sedikitpun berkeluh kesah dalam kisah Khandaq, diabadikan oleh ayat di atas sebagai bentuk suri teladan yang sepatutnya diikuti oleh ummatnya. Sekali lagi ini adalah penafsiran yang bersifat khusus dari ayat tersebut, jika ditilik dari peristiwa yang melatar belakanginya. [lihat Tafsir al-Qurthubi: 14/138-139]

Adapun jika dikaji secara lebih mendalam, ayat di atas -di mata para ulama- merupakan dalil bahwasanya teladan Nabi berupa perbuatan dan tindak tanduk beliau bisa menjadi landasan atau dalil dalam menetapkan suatu perkara, karena tidak ada yang dicontohkan oleh Nabi kepada ummatnya melainkan contoh yang terbaik. Hal ini dijelaskan oleh Imam ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’adi dalam kitab tafsirnya yang terkenal, Tafsir Kariimir Rahmaan. Beliau berkata (hal. 726 Cet. Darul Hadits):

“Para ulama ushul berdalil dengan ayat ini tentang ber-hujjah (berargumen) menggunakan perbuatan-perbuatan Nabi. (Karena) pada asalnya, ummat beliau wajib menjadikan beliau sebagai suri teladan dalam perkara hukum, kecuali ada dalil syar’i yang mengkhususkan (bahwa suatu perbuatan Nabi hanya khusus untuk beliau saja secara hukum, tidak untuk ummatnya).”

Nabi kita adalah manusia yang terbaik di segala sisi dan segi. Di setiap lini kehidupan, beliau selalu nomor satu dan paling pantas dijadikan profil percontohan untuk urusan agama dan kebaikan. Sehingga tidak heran jika Allah mewajibkan kita untuk taat mengikuti beliau serta melarang kita untuk durhaka kepadanya dalam banyak ayat al-Qur-an, di antaranya firman Allah (artinya): “…Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar.” [QS. An-Nisaa: 13]

Rasulullah juga pernah bersabda:

كُلُّ أُمَّتِيْ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَـى، فَقِيْلَ: وَمَنْ يَأْبَى يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِيْ دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِيْ فَقَدْ أَبَى

“Setiap ummatku akan masuk surga kecuali yang enggan. (Lalu) dikatakan kepada beliau: ‘Siapa yang enggan itu wahai Rasulullah ?’ Maka beliau menjawab: ‘Barangsiapa mentaati aku ia pasti masuk surga, dan barangsiapa yang mendurhakaiku maka ia enggan (masuk surga).” [Shahih Bukhari: 7280]

Makna Uswatun Hasanah

Kita sering terperangkap dalam pola prinsip yang keliru dalam memaknai hakikat uswatun hasanah yang ada pada diri Rasulullah . Tidak sedikit di antara kita mengkerdilkan makna sifat uswah (keteladanan) Nabi hanya terbatas pada masalah-masalah akhlak, sunnah-sunnah dan ritual ibadah yang dikerjakan oleh Nabi saja. Padahal, syari’at juga menuntut kita untuk meninggalkan -atau tidak mengerjakan- segala sesuatu yang tidak dikerjakan oleh Nabi dalam urusan agama ini. Inilah makna uswah yang lebih sempurna, mencakup sunnah fi’liyyah dan juga sunnah tarkiyyah.

Sunnah fi’liyyah adalah sunnah yang dikerjakan atau dicontohkan oleh Nabi. Dalam hal ini kita pun disunnahkan -bahkan bisa wajib- untuk mengerjakan persis seperti apa yang dikerjakan oleh beliau sebatas kemampuan kita.

Adapun pada sunnah tarkiyyah, kita dituntut untuk meninggalkan suatu bentuk ritual dikarenakan ritual tersebut ditinggalkan atau tidak dikerjakan oleh Nabi di masanya, padahal sangat memungkinkan untuk dikerjakan di masa beliau. Contohnya adalah kumandang adzan saat solat ‘Ied, adzan solat istisqo’ (minta hujan), dan adzan untuk jenazah. Ini semua ditinggalkan atau tidak dikerjakan oleh Nabi, maka bagi kita ummatnya, meninggalkan ritual-ritual (seperti adzan yang tidak pada tempatnya) tersebut juga termasuk sunnah –yang sifatnya wajib-, yang disebut sebagai sunnah tarkiyyah.

Akhlaqul Karimah

Rasulullah SAW adalah Uswatun Khasanah, yaitu teladan bagi setiap manusia yang hidup di dunia. Sebagai umatnya kita disunahkan untuk mengambil dan mencontoh keteladanan beliau. Namun dalam kebanyakan kajian sering orang mengartikan dan memaknainya secara sempit. Mereka menganjurkan kita untuk mengamalkan sunah-sunah Rasulullah SAW, tanpa menekankan bahwa Rasulullah itu adalah suri tauladan dan apabila kita ingin mengambil atau melaksanakan keteladanan beliau maka kita pun semestinya harus menjadi teladan bagi orang lain, sesuai dengan kemamuan dan kapasitas kita masing-masing.

Dalam komunitas yang kita bangun sudah seharusnyalah kita bisa saling meneladani atau menjadi teladan satu sarna lain dalam arti kebaikan dan menjadi kesatuan masyarakat kecil yang bisa menjadi teladan bagi kehidupan masyarakat. Mudah-mudahan apa yang kita cita-citakan dapat kita raih dan diridloi oleh Allah SWT.

Di dalam Al Qur’an telah diterangkan bahwa Muhammad SAW adalah contoh yang paling baik bagi umat manusia yang menghendaki perjumpaan dengan Allah ketika kita masih hidup di atas dunia. Hal ini sesuai dengan firman Allah ;

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi kamu, yaitu bagi orang-orang yang mengharapkan menemui Allah dan Hari Akhir dan mengingat Allah sebanyak-banyak” (QS Al Ahzab 33 : 21).

Sebagian ahli tafsir, banyak yang menterjemahkan ayat tersebut dengan iftiro atau menambah-nambahkan ayat tersebut dengan kata “mengharapkan rahmat Allah”, padahal bunyi sebenarnya adalah “Laqod kaana lakum fii Rasulillahi uswatu hasanatun liman kaana yaarjullohu walyaumil akhirawadzakarooloha kasyiron”.

Dalam ayat tersebut terdapat kata “yarjulloha” yang berarti mengharap Allah. Jadi bukan mengharapkan rahmat Allah atau mengharapkan ridha Allah, atau mengharapkan pahala Allah, atau mengharapkan rezeki Allah, tetapi yang benar adalah mengharapkan Allah semata. Bahkan kalau boleh dipertegas lagi ayat tersebut bermakna : “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang paling baik bai kamu, yaitu bagi orang yang mengharapkan menemui Allah dan hari akhir dan banyak mengingat Allah”. Berdasarkan ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa Rasulullah adalah contoh yang paling baik bagi umat manusia yang ingin mengharapkan bertemu dengan Allah di dunia ini, dan juga bertemu dengan hari akhir, agar kita dapat mengingat Allah sebanyak-banyaknya. Sebab mustahil kita dapat mengingat Allah apabila kita belum pernah bertemu dan melihat Allah.

Muhammad secara batiniah adalah suatu anasir Yang Bersifat Terpuji, yang telah dimiliki oleh setiap manusia tanpa kecuali. Tetapi yang sangat disayangkan adalah bahwa tidak semua umat manusia yang menyadari keberadaan anasir tersebut, apalagi menumbuhkannya dalam kehidupan sehari-harinya. Sehingga tidaklah mengherankan apabila banyak orang yang mengaku umat Muhammad atau umat yang sangat terpuji, justru banyak melakukan perbuatan tercela. Hal ini diakibatkan karena mereka belum dapat meneyerap Muhammad dalam arti nilai-nilai keterpujian, di setiap aktivitas hidupnya dalam bermasyarakat. Padahal setiap harinya mereka selalu mengatakan : “Aku telah menyaksikan bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan aku telah menyaksikan bahwa Muhammad adalah Utusan Allah”. Kalimat Syahadat tersebut mempunyai makna yang sangat dalam sekali, yaitu saksinya seorang pesaksi yang menyaksikan kepada siapa dia bersaksi. Secara hakikat, makna simbolis dari “wa asyhadu an la Muhammad Rasulullah” adalah sebuah pengakuan bahwa setiap diri telah ditempati oleh anasir Terpuji yaitu Nur Muhammad, yang harus diimani dan diikuti sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur’an dan juga sabda Nabi Muhammad SAW :

“Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya di dalam dirimu ada Rasulullah …” (QS Al Hujurot 49 : 7).

Katakanlah : “Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu” QS Ali Imran 3 : 31).

“Muhammad itu sekali-kalilah bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu tetapi dia adalah Rasul Allah dan penutup Nabi-Nabi. Dan sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segalanya” (QS Al Ahzab 33 : 40).

“Orang-orang yang telah kami beri Al Kitab, mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahuinya” (QS Al Baqarah 2 : 146).

Akhlak Rasulullah Muhammad saw. Dalam Memimpin

Salah satu hal yang perlu kita contoh dari diri Rasulullah Muhammad saw. Adalah akhlak beliau dalam menjalankan kepemimpinannya. Gambaran tentang bagaimana Rasulullah Muhammad saw menjalankan tugas kepemimpinannya tersebut dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Ali Imron ayat 159, yang artinya:

“Maka disebabkan rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingnya. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”.

Asbabun Nuzul ayat yang berkenaan dengan perang uhud, dimana pada perang uhud kaum muslimin menderita kekalahan yang besar. Sesuatu yang memprihatinkan pada saat itu adalh kebanyakan para sahabat pada saat itu melarikan diri dari medan pertempuran, padahal melarikan diri dari medan pertempuran menurut ajaran islam adalah sebuah dosa besar. Karena hal tersebut, Rasulullah Muhammad saw. pada saat itu hanya dikawal oleh delapan sampai empat belas orang saja.

Akan tetapi, meskipun demikian, ketika Rasulullah Muhammad saw. kembali ke Madinah, para sahabat yang lari dari emperan tersebut kemudian kembali menemui Rasul. Ketika Rasulullah Muhammad saw. melihat mereka kembali, beliau tidak berkata kasar dan menunjukan wajah yang ramah. Rasul tetap memperlakukan mereka dengan penuh keramahan. Itulah yang di maksud oleh ayat itu maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.

Dari ayat tersebut, ada beberapa pelajaran yang dapat kita petik berkaitan dengan masalah kepemimpinan, atau akhlak yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu:

-Siap untuk kecewa melihat kinerja para bawahan yang mempunyai kinerja yang tidak baik

-Siap untuk memaafkan bawahan yang mempunyai kinerja yang tidak baik tersebut

-menjauhkan diri dari sikap atau sifat fazhzban, yaitu mempunyai lisan yang kasar dan sering menyakiti orang lain

-Menjauhakan diri dari sikap atau sifat ghalizhal qalb, yaitu hatinya keras, tidak mudah tersentuh dengan penderitaan orang lain

-Memaafkan dan memohon ampunkan mereka yang telah berbuat kesalahan atau kekeliruan

Jika beberapa akhlak tersebut dapat di miliki oleh beberapa pemimpin, maka kesuksesan pemimpin dalam melaksanakan tugasnya akan berwujud kesuksesan yang paripurna dan akan mendapatkan dukungan dari fihak manapun.

Rasulullah saw. Sebagai Tajir

Rasulullah SAW hidup di dunia ini selama 63 tahun. Beliau diangkat sebagai Rasul sejak usia 40 tahun. Berarti kehidupan beliau sebagai seorang Rasul hanya sekitar 23 tahun dari keseluruhan 63 tahun usia beliau. Kebanyakan dari kita menyoroti kehidupan Rasulullah setelah beliau diangkat menjadi Rasul. Padahal, seperti yang saya katakan di atas bahwa, perintah untuk menjadikan Rasulullah sebagai suri tauladan tidak dibatasi oleh apapun. Bukankah kemuliaan ahlak Rasulullah SAW sudah diakui oleh kaumnya jauh sebelum beliau diangkat sebagai Rasul, sehingga kaumnya menjuluki beliau sebagai Al-Amin (yang terpercaya)?

Buku “Rahasia Bisnis Rasulullah” yang ditulis oleh Prof. Laode Kamaluddin Ph.D ini mencoba menyoroti kehidupan Rasulullah sebagai seorang businessman. Sebelum diangkat menjadi Rasul, beliau adalah seorang pebisnis, pedagang yang ulung. Beliau mampu menbangun jaringan perdagangan yang selalu untung dan tidak pernah rugi. Sehingga menjadi magnet bagi para jutawan dan konglomerat di Arab waktu itu untuk menginvestasikan hartanya kepada beliau. Mereka tidak takut kalau mereka akan dikhianati oleh beliau, karena beliau terkenal sebagai Al-Amin (orang yang terpercaya).

Kemampuan Rasulullah dalam berdagang pun menarik hati wanita terkaya pada zaman itu, yaitu Khadijah. Tercatat dalam sejarah bahwa Rasulullah melaksanakan 4 kali expedisi dagang untuk Khadijah. Dalam usianya yang masih muda Rasulullah telah menjadi seorang entrepreneur yang kaya pada masa beliau. Tertarik oleh kepribadian dan kepiawaian beliau, Khadijah pun melamar beliau. Pada usia 25 tahun beliau pun menikah dengan khadijah. Sebagai mas kawinnya, tercatat dalam sejarah bahwa Rasulullah memberikan 100 ekor unta kepada khadijah, tapi dalam sebagian riwayat ada yang menyebutnya “hanya” 20 ekor unta.

Mari kita hitung-hitung secara ekonomis. Pada masa itu harga 1 ekor unta berkisar antara 200 sampai 300 dinar, berarti 100×300 = 30.000 dinar. Kalau nilai 1 dinar setara dengan 110 Dollar AS, maka mas kawin yang diberikan oleh Rasulullah adalah senilai 3.300.000 dolar AS atau setara dengan Rp.33.000.000.000 (TIGA PULUH TIGA MILIAR RUPIAH!) Atau kalau memang hanya 20 ekor maka nilainya adalah 6,6 MILYAR RUPIAH!. Kalau Rasulullah tidak kaya mana bisa beliau membayar mas kawin sebanyak itu?

Dalam bukunya ini Prof. Laode Kamaluddin memaparkan bagaimana Rasulullah menjalankan praktek-praktek manajemen dengan prinsip-prinsip seperti kejujuran, setia dan profesional. Prof Laode juga menjelaskan bahwa Rasulullah telah menjalankan praktek etika dalam berbisnis dan manajemen jauh sebelum ilmu manajemen ditemukan.

Buku ini merupakan kelanjutan dari buku “14 Langkah Rasulullah dalam Membangun Kerajaan Bisnis”. (Aku belum baca, soalnya gak punya. Buku “Rahasia Bisnis Rasulullah” ini aja dapatnya minjem :-D). Dari beberapa hadis dan riwayat sejarah, Prof. Laode dengan sangat bagus mampu menangkap pesan-pesan dari dalamnya dan merangkumkannya dalam 12 Rahasia Bisnis Rasulullah: antara lain, menjadiakan bekerja sebagai ladang menjemput surga; Berpikir visioner, kreatif dan siap menghadapi perubahan; Pintar mempromosikan diri; Menggaji karyawan sebelum kering keringatnya; Mengutamakan sinergisme; Berbisnis dengan cinta; serta Pandai bersyukur dan berucap terima kasih.

Sifat Rasulullah saw.

Sebagai nabi dan rasul terakhir, Nabi Muhammad memiliki beberapa keistemawaan. kesabarannya, ketabahannya, keberaniannya, keadilannya, kejujurannya, kepatuhannya terhadap Allah, kemurahannya, kasih sayangnya, lemah lembutnya, dan sifat – sifat terpuji lainnya merupakan miliknya dan sekaligus merupakan keistimewaannya.
Kepada Nabi Muhammad saw. diturunkan Al-Qur’an yang sekaligus merupakan sumber akhlak Beliau. Dalam sebuah hadits disebutkan :

سَئَلَتْ عَائِشَةُ عَنْ خُلُقِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ

Artinya:
Aisyah ditanya tentang akhlak Rasulullah, maka ia menjawab : “Akhlak Rasulullah saw. adalah Al-Qur’an”. (HR. Ahmad)

Keteladanan Rasulullah saw.
Uswatun Hasanah artinya teladan yang baik, yakni contoh yang baik dari Nabi Muhammad SAW, yang meliputi beberapa aspek kehidupan. Dalam Surat Al-Ahzab ayat 21 disebutkan :

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللهِ اُسْوِةٌ حَسَنَةٌ

Artinya:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang bai k bagimu.”
Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan pedoman umat Nabi Muhammad SAW.

Sunnah Rasul sebagai Uswatun Hasanah

a. Sangat Sederhana : hal ini dapat dilihat dari cara makan beliau yakni Rasulullah tidak mau makan sebelum terasa lapar dan berhenti makan sebelum terasa kenyang. Menurut Nabi Muhammad SAW, perut yang baik adalah untuk makan, ¹/з untuk air dan ¹/з lagi untuk bernafas.

b. Pemimpin yang dicintai : Beliau terkenal adil dan bejiksana dalam menyelesaikan permasalahan, Beliau lakukun dengan cermat, penuh keramahan, sehingga segala permasalahan dapat diatasi dengan memuaskan semua pihak.

c. Dipercaya : Semua ucapan beliau sejalan dengan perbuatannya, oleh karenanya beliau mendapat gelar “Al-Amin” artinya yang terpecaya.

d. Jujur : Berkata dengan sejujurnya, karena dalam kejujuran terdapat keselamatan.

e. Pemurah : Memberikan bantuan kepada siapapun walaupun orang yang meminta bantuan dengan kasar.

f. Pengasih : Beliau sangat mengasihi kaum yang lemah.

3. Akhalk terpuji Nabi Muhammad SAW. yang patut kita teladani :
a. Apabila berbicara jelas sehingga orang yang mendengarkan akan paham.
b. Apabila berkata – kata selalu diiringi dengan senyum.
c. Ketika bertemu dengan seseorang beliau mengucapkan salam lebih dulu, begitu pula pada saat berpisah.
d. Jika seseorang yang berhadapan dengan Beliau ada keperluan, maka Beliau bersabar menunggunya hingga orang itulah yang pergi dari hadapan Beliau.
e. Beliau suka bersilaturrahmi kepada keluarga, sahabat, dan orang lain.
f. Rasulullah SAW. tidak pemarah dan pendendam.s

Rasulullah memberi teladan yang baik kalau para sahabat hanya diganjal dengan satu buah batu, beliau malah diganjal dengan dua buah batu, disini jelas bahwa rasulullah lebih merasakan lapar dari pada sahabat–sahabatnya, ini memberi contoh bahwa pemimpin tidak boleh hanya mengutamakan diri sendiri, tetapi harus memperhatikan nasib rakyatnya. Sebagai uswatun hasanah, Rasulullah memiliki budi pekerti yang luar biasa. Allah memuji budi pekerti Rasulullah dalam surat Al Qalam ayat 4: 

وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ

Sesungguhnya engkau memiliki budi perkerti yang agung (QS Al-Qalam ayat 4)

Karena keluhuran akhlak beliau, maka Allah jadikan semua perkataan, perbuatan dan ketetapan beliau sebagai landasan hukum bagi umat islam yang ke dua setelah Al-Quran. Ummul Mukminin, siti Aisyah ra menggambarkan bagaimana luhurnya budi pekerti Rasulullah ketika ditanyakan kepada beliau bagaimana akhlak Rasulullah, dengan ungkapan beliau “akhlak Rasulullah adalah Al-Quran”.

Keluhuran budi pekerti Rasulullah berada pada semua aspek. Rasulullah merupakan suri teladan yang sempurna. Sebagai seorang pemimpin agama, beliau memperlihatkan akhlak seorang Nabi yang berjuang dengan santun, sabar, dan ikhas. Dalam berdakwa beliau tabah menghadapi gangguan dari musuh-musuh beliau yang tak lain berasal dari kaum beliau sendiri. Ketika berdakwah ke kota Thaif, Rasulullah mendapat perlakuan kasar, dilempari kotoran dan hewan batu sampai kaki beliau terluka. Dalam keadaan demikian Allah memberikan izin kepada malaikat penjaga gunung untuk membalikkan gunung keatas kaum Thaif bila Rasulullah kehendaki. Namun Rasulullah saw malah berdoa supaya Allah melahirkan dari keturunan mereka kaum yang menyembah Allah swt, tidak mempersekutukanNya.

Sebagai seorang pemimpin negara, Rasulullah memperlihatkan kepada umatnya bagaimana seharusnya akhlak seorang pemimpin. Beliau menjadi seorang pemimpin yang memecahkan masalah dengan musyawarah, padahal pandangan beliau sendiri sudah cukup tanpa perlu bermusyawarah dengan para shahabat. Cara dan metode Rasulullah dalam memimpin umat diikuti oleh empat shahabat utama beliau yang memerintah setelah wafat Rasulullah, sehingga dijuluki dengan Khulafaur Rasyidin; para pengganti yang mendapat petunjuk. Dalam kehidupan rumah tangga, Rasulullah juga menjadi contoh suami yang baik, selalu bersikap sabar, arif, dan mencintai keluarganya, berlaku adil terhadap istri-istri beliau. Beliau tidak terlalu menyibukkan istri-istrinya, bahkan kalau ada pakaian yang koyak, Rasulullah menambalnya sendiri tanpa perlu menyuruh isterinya. Beliau juga memerah susu kambing untuk keperluan keluarga maupun untuk dijual. Rasulullah juga memberikan contoh hidup zuhud di dunia ini.

Dalam satu dikisahkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, dia berkata, "Umar bin Al-Khaththab ra. bercerita kepadaku, "Aku pernah memasuki rumah Rasulullah Shallailahu Alaihi wa Sallam, yang saat itu beliau sedang berbaring di atas selembar tikar. Setelah aku duduk di dekat beliau, aku baru tahu bahwa beliau juga menggelar kain mantelnya di atas tikar, dan tidak ada sesuatu yang lain, Tikar itu telah menimbulkan bekas guratan di lambung beliau. Aku juga melihat di salah satu pojok rumah beliau ada satu takar gandum. Di dinding tergantung selembar kulit yang sudah disamak. Melihat kesederhanaan ini kedua mataku meneteskan air mata. Mengapa engkau menangis wahai Ibnul-Khaththab?" tanya beliau "Wahai Nabi Allah, bagaimana aku tidak menangis jika melihat gurat-gurat tikar yang membekas di lambung engkau itu dan lemari yang hanya diisi barang itu? Padahal Kisra dan Kaisar hidup di antara buab-buahan dan sungai yang mengalir. Engkau adalah Nabi Allah dan orang pilihan-Nya, sementara lemari engkau hanya seperti itu. Rasulullah menjawab "Wahai Ibnul-Khaththab, apakah engkau tidak ridha jika kita mendapatkan akhirat, sedangkan mereka hanya mendapatkan dunia? " Kedudukan Rasulullah sebagai uswatun hasanah dengan akhlak yang luhur merupakan salah satu hikmah diutusnya beliau ke muka bumi ini yang merupakan rahmat bagi seluruh alam. Dalam satu hadits Rasulullah bersabda: 

إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
 
“saya diutus untuk menyempurnakan akhlak” Dengan akhlak yang luhur tersebutlah, beliau mampu mengajak umat untuk beriman hanya dalam jangka waktu yang singkat.

Keberhasilah dakwah Rasulullah saw tidak terlepas dari akhlak mulai beliau, dalam surat Ali Imran ayat 159 Allah berfirman: 

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

Abi Naufal (16/1/2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar